Polenk melihat, jika benar-benar sapi dimuliakan, sampai jadi tengkorak pun warga harus tetap memuliakannya.
I Nyoman ”Polenk” Rediasa punya proyek seni tentang kehidupan paradoks para banteng. Saat kecil para calon banteng dilepasliarkan ke hutan sebagai persembahan, tetapi ketika berevolusi menjadi banteng sesungguhnya, takdirnya berujung di dapur warga.
Saat hari yang disebut mungkah wali datang, para banteng liar diburu, diciduk, dibekuk, dan disembelih sebagai persembahan ke tempat suci. Dagingnya sebagian besar menjadi santapan, yang diperlakukan seperti berkah bagi kehidupan warga.
Keprihatinan Polenk terhadap siklus hidup para banteng membuatnya membangun karya seni instalasi partisipatif di sudut Desa Tambakan, Buleleng, Bali. Wujudnya, sebuah monumen besar yang berbentuk tengkorak kepala banteng. Monumen itu dikelilingi oleh menara-menara bambu tempat ”memajang” tengkorak-tengkorak kepala banteng asli yang berhasil ia temukan di kebun-kebun warga.
Karya instalasi yang diberi judul ”Seni Instalasi Partisipatif Teo-Ekologis Sampi Duwe” itu lahir sebagai pengingat warga desa bahwa ”konsistensi” dalam pemuliaan dan penyucian terhadap banteng itu penting. Polenk melihat, jika benar-benar sapi atau sampi, sebutan lokal, dimuliakan, sampai jadi tengkorak pun warga harus tetap memuliakannya. Kenyataannya, tulang belulang dan tengkoraknya usai ritus mungkah wali itu berserakan di kebun-kebun milik warga.
”Ada yang paradoks. Satu sisi banteng dimuliakan, bahkan dipanggil dengan sebutan hormat seperti ’Ida Dewa’, tetapi ketika sudah disembelih tulang-tulang dan tengkoraknya berserakan seolah jadi binatang nista,” kata Polenk, Jumat (23/8/2024), usai dinyatakan lulus doktor dengan predikat pujian dalam sidang terbuka di ISI Denpasar.
Karya instalasi Polenk dikerjakan sebagai tugas akhir program doktoral di ISI Denpasar dengan judul lengkap ”Seni Instalasi Partisipatif Teo-Ekologis Sampi Duwe di Desa Tambakan, Buleleng, Bali”. Desertasi ini setidaknya membutuhkan waktu penyelesaian lebih dari dua tahun, terutama soal sosialisasi ke tengah-tengah masyarakat sebagai upaya penyadaran makna sesungguhnya ritus sampi duwe itu. Oh ya, sampi duwe bisa diterjemahkan sebagai sapi persembahan yang disucikan.
Sebagai karya kontemporer, seni instalasi yang dibangun Polenk tetap berangkat dari ritus lokal, yang memiliki kepercayaan pemuliaan terhadap sapi. Pada setiap tilem (bulan mati), selalu ada warga yang mempersembahkan anak sapi, disebut dengan maturan kelaci, di Pura Dalem Desa Tambakan. Biasanya, persembahan itu terkait dengan kaul warga di pura setempat atau upacara pernikahan warga.
Sesudah upacara, anak-anak sapi itu lantas dilepas di sekitar desa. Kumpulan para sapi kemudian hidup meliar di kebun-kebun warga dan hutan setempat sampai akhirnya menjelma menjadi seekor banteng.
”Kini populasinya sudah mencapai lebih dari 600 ekor. Itu pun setiap dua tahun sekali dilakukan mungkah wali atau persembahan dengan penyembelihan sampai 30 ekor,” kata Polenk. Beberapa desa yang berdekatan dengan Desa Tambakan juga memiliki ritus serupa sebagai tradisi turun-temurun di desa-desa pegunungan Bali.
Aku jadi ingat kisah seekor banteng dalam cerita Tantri Kamandaka. Setelah bekerja keras membantu seorang brahmana hingga menjadi kaya raya, si sapi jantan bernama Nandaka, yang sakit ditinggalkan di tengah hutan angker bernama Malawa. Padahal, Nandaka adalah hadiah Dewa Siwa kepada brahmana Dharmaswami, yang sudah lama hidup miskin.
Keberadaan Nandaka di hutan membuat heran sekawanan serigala. Banteng itu bertubuh kekar dan besar, tetapi hanya memakan rerumputan. Para serigala yang dipimpin Patih Sembada, tak lain adalah anak buah dari Sri Adiprabhu Singha Candapinggala. Mereka ingin memangsa Nandaka, tetapi tak berdaya menghadapi kekuatan banteng berwarna hitam itu.
Singkat cerita, ketika bertemu Prabu Singha Candapinggala, Nandaka bercerita tentang laku spiritual dirinya. Ia tidak membunuh sesama makhluk untuk meneruskan hidup. Memakan daging senantiasa didahului oleh laku pembunuhan dan itu pasti berdarah-darah. Itulah sebabnya, kata Nandaka, ia hanya memakan rumput. Bagi seorang pemimpin, laku ahimsa (tidak membunuh) adalah laku suci yang akan menjadikannya seorang pemimpin sejati.
Dalam dialog itu, Nandaka bahkan mengatakan, kini banyak pemimpin yang terlihat berwibawa, merakyat, tetapi berhati bengis. ”Banyak pemimpin yang menegakkan wibawa dengan cara membunuh sesama makhluk. Di mana-mana pembunuhan akan diteruskan dengan pembunuhan lainnya,” tutur Nandaka.
Sebagai raja hutan, Singha merasa sudah terlalu banyak membunuh sesama makhluk. Setiap saat para serigala pemburu senantiasa mempersembahkan daging kijang yang empuk atau daging kuda yang lebih kenyal. Ajaran ahimsa sebagai laku spiritual memuliakan sesama makhluk, yang dituturkan Nandaka ada benarnya, pikir Sigha. Maka, sejak itu, Singha Candapinggala menjalani hidup vegetarian. Ia hanya memakan rerumputan seperti laku banteng Nandaka.
Sampai di situ, mitos-mitos seputar lembu atau banteng, berkaitan dengan ajaran Tantrayana, sebuah doktrin ajaran yang percaya kepada kekuatan gaib atau magi. Masih ingat kisah Dewi Uma yang mencari air susu dari seekor lembu untuk pengobat rasa duka yang dialami Dewa Siwa? Kisah ini lebih jauh bisa dibaca lagi dalam novelku, Gandamayu, yang telah diterbitkan tahun 2012 oleh Penerbit Buku Kompas.
Sakit Dewa Siwa hanya bisa sembuh dengan air susu seekor lembu putih. Secepat kilat Dewa Uma terbang dan turun ke bumi untuk mencari susu lembu putih. Dewi yang cantik itu kemudian bertemu dengan seorang gembala di senja yang merah.
”Bisakah saya memohon air susu dari lembu ini,” mohon Dewi Uma.
”Untuk apa gerangan air susu lembu?” Si Gembala tua itu bertanya balik.
”Suami saya sedang sakit, hanya air susu lembu obatnya. Bisakah saya mendapatkannya?”
”Tentu tidak semudah itu. Ada syaratnya….”
”Apa pun akan kulakukan untuk kesembuhan suamiku.”
Si Gembala tua diam-diam menyimpan niat tak baik. Wajahnya tersenyum sinis.
”Bersediakah kau tidur denganku?”
ARSIP/POLENK REDIASAKarya seni instalasi berjudul ”Seni Instalasi Partisipatif Teo-Ekologis Sampi Duwe di Desa Tambakan, Buleleng, Bali” dari perupa Polenk Rediasa. Karya ini menjadi tugas akhir program doktoral ISI Denpasar, Jumat (23/8/2024).
Uma kaget bukan main. Ia disodok dilema teramat besar. Meski begitu, sebagai seorang dewi, ia merasa Si Gembala berhati culas. Suka memanfaatkan kesempatan di tengah kesulitan orang lain.
”Mengapa kau begitu tenang saat mengajakku tidur?” tanya Dewi Uma.
”Terserah padamu. Silakan pilih, suamimu akan mati atau tidur denganku….”
Mengingat cintanya yang begitu dalam terhadap suami, dengan berat hati Dewi Uma bersedia tidur dengan Si Gembala, asal ia benar-benar memperoleh air susu lembu.
Cerita ini dituturkan sebagai ujian atas iman seorang perempuan. Ketika dihadapkan pada pilihan teramat sulit, apa reaksinya saat menghadapi benturan. Pada akhirnya, Si Gembala tua tak lain adalah jelmaan Dewa Siwa, yang ingin menguji keteguhan hati istrinya sendiri. Lantaran perbuatannya yang dinilai nista, Dewi Uma dikutuk menjadi Durga dan menghuni kuburan terangker di bumi bernama Setra Gandamayu.
Begitulah Uma menjelma menjadi Durga, yang berdiam di kuburan kotor dan berbau amis. Dalam perjalanannya, Durga menjadi sumber ajaran sihir hitam sepertileak, sebagaimana kemudian diturunkan dalam kisah Calonarang. Ia bahkan menjadi inspirasi ajaran sekte Hindu bernama Bairawa, di mana Durga adalah dewi dengan kekuatan tak tertandingi.
Rasa-rasanya kehidupan para banteng atau lembu sedikit berkaitan dengan kisah ini. Dalam mitologi yang lain seekor lembu putih bernama Nandini, menjadi wahana Dewa Siwa. Ia simbol dari Ibu Pertiwi, sebagai Dewi Kesuburan. Mitologi ini bisa disebut sebagai babon atau cikal-bakal, pemuliaan terhadap lembu. Oleh sebab itu, di jalan-jalan kota di banyak negara bagian di India, sapi-sapi hidup secara bebas di antara manusia. Pemerintah bahkan mengeluarkan aturan larangan penyembelihan sapi atau lembu.
ARSIP/POLENK REDIASADi Desa Tambakan, Buleleng, Bali, terdapat tradisi Maturan Kelaci, mempersembahkan anak sapi untuk membayar kaul warga. Ritual ini biasanya digelar pada saat Tilem (bulan mati), setiap 15 hari sekali oleh warga yang melaksanakan kaul, Jumat (23/8/2024).
Mitologi telah lama menjadi sumber ajaran dan pedoman bagi sekelompok masyarakat dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Desa kecil seperti Tambakan di pedalaman Bali secara turun-temurun melakukan ritus pemuliaan terhadap sapi. Mereka percaya bahwa sapi adalah sumber kesuburan dan kemakmuran. Oleh karena itu, pada saat permohonan mereka dikabulkan, mereka dengan tulus ikhlas melakukan ritual maturan kelaci di Pura Dalem Tambakan. Selanjutnya, petualangan hidup sapi kecil sampai akhirnya tumbuh menjadi banteng yang kekar dan kuat, menjadi simbolisasi terhadap perjalanan ”kesuksesan” hidup pemberi kaul.
Sayangnya, sebagian besar ritus pemuliaan terhadap sapi tidak diiiringi dengan tumbuhnya kesadaran tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara alam skala (duniawi) dan niskala (spiritual). Ketidakseimbangan inilah, dalam riset Polenk, telah menimbulkan kepincangan dalam pelaksanaan ritus sampi duwe.
Perilaku mencampakkan tengkorak sapi beserta tulang belulangnya sehabis penyembelihan puluhan ekor dalam ritual mungkah wali merupakan penampakan paling nyata tentang ketidaktuntasan penyeimbangan alam. Tulang belulang dari para sapi yang mulia itu secara skala menjadi ”sampah” di desa yang dari tahun ke tahun akan terus bertambah.
Kemudian secara niskala, menjadi ”penyimpangan” terhadap ritus pemuliaan terhadap sapi itu sendiri. Pertanyaan Polenk yang mendasar, mengapa sapi yang mulia harus mengalami nasib dicampakkan, seolah habis manis sepah dibuang?
Pendirian seni instalasi setinggi 8 meter di area Pura Prajapati, yang terletak antara kuburan kelih (dewasa) dan alit (kecil) seluas 750 meter persegi itu, menjadi monumen ritus kontemporer di desa setempat. Polenk bahkan memprediksi luas area itu akan bertambah menjadi sekitar 1,5 hektar. Patung tengkorak sapi yang menjulang tinggi itu kini tidak hanya berfungsi sebagi ritus baru pemuliaan sapi, tetapi juga destinasi wisata yang ikonik di Desa Tambakan.
”Selain sebagai ritus baru, saya berharap agar karya instalasi ini menjadi episentrum baru yang menarik kerumunan warga. Setelah mereka melihat patung tengkorak, kita harap mereka teredukasi tentang narasi keberadaan sampi duwe di Tambakan,” kata Polenk.
Dalam posisi semacam itu, aku ingat apa yang selama ini dikerjakan seniman Nyoman Nuarta. Seniman kelahiran Tabanan yang menetap di Bandung itu membangun patung Garuda Wisnu Kencana (GWK) di Bukit Balangan, Ungasan, Jimbaran, Bali, selama 28 tahun. GWK memiliki ketinggian 122 meter di atas permukaan laut dan lebar sayap 66 meter. Sejak mula GWK didesain untuk menjadi episentrum baru dunia pariwisata Bali.
”Sebab, selama ini kita hanya bisa mewarisi situs-situs seperti pura yang telah dibangun selama berabad-abad. Itulah yang kini kita nikmati sebagai destinasi pariwisata,” kata Nyoman Nuarta dalam berbagai kesempatan.
Meski sejak awal diniatkan sebagai monumen profan (bukan pura), GWK tetap berangkat dari artefak kultural patung Bali dan Jawa, yakni Garuda Wisnu. Patung ini bahkan menjadi representasi kehadiran raja besar seperti Airlangga di Jawa Timur (1019-1043 Masehi).
Dalam praktiknya, GWK berbeda dengan seni instalasi Sampi Duwe dari Polenk Rediasa. Nyoman Nuarta tidak berharap bahwa GWK menjadi monumen yang sakral. Ia tak lain hanyalah destinasi pariwisata baru, sumbangan manusia modern terhadap Indonesia dan Bali pada khususnya.
Sementara Sampi Duwe, meski berwujud seni kontemporer, sejak awal diniatkan menjadi situs baru untuk memuliakan para banteng, yang telah mengabdikan hidupnya kepada manusia. Setidaknya ia akan lahir menjadi tugu peringatan terhadap ritus sapi suci, yang berpangkal pada mitologi dalam kitab-kitab klasik Hindu. Harapannya, ia akan membawa pencerahan secara spiritual dan kemaslahatan kehidupan masyarakat di pegunungan Bali.
Mungkin, saat-saat ini, kehidupan para banteng masih tetap paradoksal. Ia dicintai dan dimuliakan sebagai makhluk suci, tetapi juga ditinggalkan dan bahkan ”dinistakan” ketika berwujud tulang belulang. Lain hari, semoga para banteng benar-benar menjadi wahana para roh menuju Nirwana, sebagaimana disimbolkan dalam upacara Ngaben.
Putu Fajar Arcana, jurnalis Kompas 1994-2022, Redaktur Tamu Sastra Kompas 2022-sekarang, sastrawan, sutradara, dosen Creative Writing London School of Public Relations (LSPR) Jakarta, dan penulis 11 buku tunggal.